Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menerima kunjungan First Deputy Managing Director of IMF Gita Gopinath di Jakarta pada Jumat (20/6/2025).
Momen pertemuan itu diunggah Sri Mulyani dalam media sosial Instagramnya, @smindrawati. Dalam keterangan unggahan tersebut, Sri Mulyani mengaku membahas sejumlah hal dengan Gita, termasuk perekonomian Indonesia dan dunia.
Terkait kondisi global, bendahara negara menyampaikan bahwa menjaga pertumbuhan ekonomi tetap tinggi menjadi tantangan Indonesia dan banyak negara. Apalagi, belakangan terjadi disrupsi rantai pasok, kebijakan suku bunga higher for longer yang masih terjadi, risiko inflasi tinggi, serta pelemahan ekonomi dunia.
Oleh sebab itu, Sri Mulyani melaporkan Indonesia akan terus bersikap waspada dengan berbagai rambatan eksternal yang berdampak negatif ke perekonomian domestik. Dia menyatakan akan terus mengelola APBN secara hati-hati dan bijaksana, terutama untuk menjaga daya beli masyarakat dengan berbagai stimulus.
"Selain itu, Indonesia juga berkomitmen akan menjaga defisit tetap terkendali sesuai batas yang ditentukan dalam UU APBN," ujar Sri Mulyani dalam keterangan unggahannya, Jumat (20/6/2025).
Dalam UU APBN 2025, pemerintah sudah menetapkan ambang batas defisit sebesar 2,53% dari produk domestik bruto (PDB) atau setara dengan Rp616,2 triliun. Dalam perkembangan terbaru, APBN mengalami defisit 0,09% dari PDB atau setara Rp21 triliun pada Mei 2025.
Baca Juga
Lebih lanjut, Sri Mulyani mengaku pemerintah akan terus berupaya merupakan upaya-upaya agar pembangunan Indonesia bisa terus berjalan meski dihadapkan berbagai tantangan.
"Kita optimis, namun tetap waspada. Semoga dengan sinergi antara pemerintah dan seluruh elemen masyarakat, kita dapat menjaga pertumbuhan Indonesia tetap berkelanjutan," tutupnya.
Ancaman Pelebaran Defisit
Selain eskalasi perang dagang yang diinisiasi Presiden AS Donald Trump, perkembangan terbaru dari konflik Israel-Iran juga semakin mengancam APBN 2025.
Di satu sisi, asumsi makro APBN 2025 sudah menetapkan harga minyak mentah Indonesia (ICP) sebesar US$82 per barel. Di sisi lain, Bloomberg melaporkan harga minyak mentah dunia bisa melonjak naik di atas US$100 per barel apabila konflik Israel-Iran terus berlanjut.
Masalahnya, dalam analisis sensitivitas APBN 2025, pemerintah sudah menghitung bahwa setiap kenaikan harga ICP sebesar US$1 akan membuat belanja negara membengkak hingga US10,1 triliun rupiah. Di sisi lain, setiap kenaikan harga ICP US$1 hanya akan menaikkan pendapatan negara sebesar US$3,2 triliun.
“Kenaikan sisi belanja lebih besar dibandingkan sisi penerimaan. Artinya, kenaikan harga minyak akan meningkatkan defisit anggaran,” ujar Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar kepada Bisnis, Minggu (15/6/2025).
Dia menjelaskan bahwa kenaikan harga minyak memang berdampak positif dari sisi penerimaan karena berpotensi menambah setoran PPh dan PNBP minyak dan gas (migas). Hanya saja, kenaikan harga minyak juga meningkat dari sisi belanja negara seperti subsidi energi dan setoran dana bagi hasil migas ke pemerintah daerah.
Oleh sebab itu, Fajry mengingatkan perlunya pemerintah melakukan penyesuaian anggaran jika tren harga ICP terus menjauh dari asumsi APBN 2025. Dia sendiri tidak sepakat apabila penyesuaian tersebut dilakukan dengan menaikkan harga BBM atau tabung LPG 3 kg.
“Dengan kondisi ekonomi yang ada dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah yang tinggi, mencabut subsidi energi bukan opsi yang tepat,” tuturnya.