Bisnis.com, JAKARTA — Aktivitas manufaktur Jepang mencatat ekspansi untuk pertama kalinya dalam lebih dari satu tahun pada Juni 2025, yang kemungkinan mencerminkan percepatan produksi menjelang kenaikan tarif Amerika Serikat (AS) bulan depan.
Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur versi The au Jibun Bank naik menjadi 50,4 dari posisi 49,4 pada Mei, menembus ambang batas 50 yang menandai ekspansi dan menjadi level tertinggi sejak Mei 2024, menurut data S&P Global yang dirilis pada Senin (23/6/2025). Sementara itu, PMI sektor jasa juga meningkat menjadi 51,5 dari sebelumnya 51,0.
Kenaikan ini menunjukkan pelaku industri mempercepat produksi untuk kebutuhan ekspor sebelum kebijakan tarif yang lebih tinggi mulai berlaku. Pemerintahan Presiden AS Donald Trump dijadwalkan memberlakukan tarif timbal balik lebih tinggi mulai 9 Juli, setelah periode 90 hari di mana tarif ditahan pada level 10%.
Bagi Jepang, ini berarti tarif atas banyak produk ekspor ke AS akan melonjak menjadi 24%. Tarif sektor tertentu, seperti baja, aluminium, dan mobil, sudah lebih dulu dinaikkan.
Kazuki Noda, Ekonom di SMBC Nikko Securities, menyebut perusahaan-perusahaan kemungkinan sedang berlomba meningkatkan output sebelum tarif baru diterapkan.
“Kita melihat perbaikan signifikan pada indeks produksi manufaktur, meskipun pesanan baru masih cukup lemah," katanya dikutip dari Bloomberg.
Baca Juga
Subindeks pesanan baru memang menunjukkan penurunan lebih tajam dibanding bulan sebelumnya, tetapi tetap ada sinyal positif. Kenaikan output dan aktivitas jasa yang solid diperkirakan dapat membantu Jepang menghindari resesi teknikal setelah kontraksi ekonomi pada kuartal I/2025, lanjut Noda.
Dalam laporan PMI, para pelaku industri manufaktur Jepang memperkirakan output akan meningkat 9% sepanjang Juni. Meskipun permintaan baru masih lesu, peningkatan produksi menjadi faktor utama yang dapat menjaga perekonomian dari risiko resesi.
Data ini sejalan dengan laporan ekspor awal dari Korea Selatan yang menunjukkan percepatan pengiriman sebelum tarif baru berlaku. Ekspor Negeri Ginseng ke AS naik 4,3% dan mendorong pertumbuhan keseluruhan ekspor sebesar 8,3% dalam 20 hari pertama Juni.
Sementara itu, upaya Jepang mencapai kesepakatan dagang dengan AS masih menemui jalan buntu. Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba dan Presiden Trump gagal mencapai kesepakatan dalam pertemuan G7 di Kanada pekan lalu, meskipun telah melakukan tiga kali percakapan via telepon dan serangkaian kunjungan ke Washington oleh Kepala Negosiator Dagang Jepang, Ryosei Akazawa.
Akazawa mengatakan pekan lalu di Tokyo bahwa pihaknya tidak akan terlalu terpaku pada tenggat 9 Juli. Menteri Keuangan AS Scott Bessent juga mengindikasikan bahwa negara-negara yang melakukan negosiasi secara itikad baik masih berpeluang mendapatkan perpanjangan waktu.
Meski demikian, Noda memperingatkan bahwa prospek ekonomi Jepang pada musim panas tetap dibayangi ketidakpastian yang tinggi.
“Dampak beban tarif kemungkinan akan mulai terasa lebih jelas mulai Juli. Itu akan menjadi ujian penting bagi ketahanan ekonomi Jepang,” kata Noda.