Bisnis.com, JAKARTA — Integrasi Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih dengan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) berpotensi menciptakan putaran ekonomi desa yang signifikan, dengan estimasi dana mencapai hingga Rp400 triliun jika sinergi modal dan aset desa berjalan efektif.
Kendati demikian, Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia menyebut bahwa meskipun integrasi tersebut mempunyai potensi putaran dana yang super jumbo, tetapi bukan berarti tanpa catatan penting.
“Tanpa pemetaan peran dan kelembagaan yang jelas, integrasi ini berisiko tumpang tindih dan hanya menjadi perluasan administratif tanpa dampak nyata,” kata Etika Karyani Suwondo, Direktur Riset Bidang Ekonomi Digital CORE Indonesia, kepada Bisnis dikutip Jumat (18/7/2025).
Sebagaimana diketahui, pemerintah menargetkan membentuk Kopdes Merah Putih sebanyak 80.000 Kopdes. Setiap Kopdes nantinya akan diberikan kredit dari Himbara sebesar Rp3 miliar sebagai modal awal dan harus dikembalikan melalui cicilan selama 6 tahun.
“Integrasi Kopdes Merah Putih dan BUMDes berpotensi menciptakan putaran ekonomi desa yang signifikan, dengan estimasi dana hingga Rp400 triliun jika sinergi modal dan aset desa berjalan efektif,” ujar Etika.
Etika menjelaskan bahwa bentuk Kopdes Merah Putih termasuk koperasi open loop yang semestinya menjadi ranah pengawasan Otortias Jasa Keuangan (OJK). Sementara itu, koperasi open loop yang sudah terdaftar di OJK berjumlah 21 koperasi yang memiliki total aset mencapai Rp337,30 miliar dengan pembiayaan yang telah disalurkan sebesar Rp213,26 miliar.
Menurut Etika, Kopdes Merah Putih idealnya fokus pada fungsi pembiayaan mikro dan agregasi usaha warga. Di sisi lain, BUMDes mengelola infrastruktur dan unit usaha milik desa sehingga keduanya saling melengkapi dalam ekosistem ekonomi desa.
“Bila integrasi dilakukan tanpa pembagian peran yang tegas, koperasi bisa justru bersaing dengan usaha rakyat atau mematikan inisiatif lokal,” ujarnya.
Berbicara lebih jauh ihwal potensi Kopdes Merah Putih ini, Etika melihat koperasi dapat menjadi kolaborator strategis bagi lembaga jasa keuangan lainnya seperti fintech P2P lending dan perbankan, terutama dalam menjangkau segmen unbankable dengan pendekatan komunitas yang kuat.
Namun pada saat yang sama, menurut dia, koperasi juga akan menjadi kompetitor alami bagi lembaga pembiayaan yang kurang berakar secara sosial di desa. Posisi koperasi akan efektif jika mampu menjaga akuntabilitas, efisiensi biaya, dan kepercayaan sosial sebagai keunggulan utama.
“Tantangan utama terletak pada pendekatan top-down, kapasitas SDM lokal, dan kejar target kuantitatif yang bisa mengorbankan kualitas koperasi. Skema pendanaan besar tanpa pengawasan dan partisipasi publik rentan menjadi proyek politik atau birokratis. Untuk itu agar optimal koperasi harus dibangun secara partisipatif, transparan dan adaptif terhadap kondisi riil desa,” ujar Etika.