Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom memproyeksi pemulihan Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia baru akan terjadi pada kuartal I atau kuartal II 2026. Hal ini menyusul kondisi industri yang masih dalam fase kontraksi 4 bulan terakhir.
Peneliti Indef Ariyo DP Irhamna mengatakan pemulihan PMI manufaktur kemungkinan mulai berangsur pada kuartal I–II 2026 dan bergantung pada dua hal.
“Pertama, respons pemerintah terkait hasil akhir tarif resiprokal US dengan semua negara, karena banyak juga yg mendapatkan tarif di bawah 19%, maka untuk memberikan optimisme, pemerintah perlu renegosiasi, dan perbaikan permintaan global,” kata Ariyo kepada Bisnis, Jumat (1/8/2025).
Kedua, pemerintah harus melakukan penyederhanaan regulasi ekspor dan impor serta dukungan pembiayaan produksi yang diperkuat, sebab efek positif dari tarif 19% ke AS bisa mulai dirasakan lebih cepat.
“Namun, tanpa langkah percepatan ini, industri bisa terjebak dalam fase stagnasi lebih lama karena kehilangan momentum pasca negosiasi dagang,” ujarnya.
Dalam laporan S&P Global Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia yang berada di level 49,2 pada Juli 2025 atau di bawah ambang batas 50.
Baca Juga
Kinerja bulan Juli memang mengalami peningkatan dari bulan sebelumnya yang berada di level 46,9 dan 47,4 pada Mei 2025. Dalam laporan tersebut menunjukkan tren kontraksi ini berlanjut sejak April 2025 lalu yang anjlok ke angka 46,7.
Ariyo melihat penyebab sisi global yakni ketidakpastian ekonomi AS dan Eropa menekan permintaan ekspor. Sementara dari domestik, pelaku industri cenderung menahan ekspansi sambil menunggu kepastian hasil negosiasi tarif perdagangan dengan AS.
Apalagi, ekspektasi pasar masih terbelah, sebagian optimistis tarif 19% akan menjadi pintu masuk ekspor, sebagian lain khawatir dampak kompetisi dari produk impor AS yang mendapat tarif 0% dan pembebasan TKDN.
“Akibatnya, investasi produksi baru ditunda dan industri berjalan pada kapasitas minimum yang aman,” tuturnya.