Bisnis.com, JAKARTA — Perekonomian Indonesia diproyeksikan tumbuh lebih lambat pada kuartal II/2025. Sejumlah ekonom mengungkapkan bahwa tekanan terhadap daya beli masyarakat menjadi salah satu faktor utama yang menghambat laju pemulihan ekonomi nasional.
Proyeksi dari 30 ekonom maupun lembaga yang dihimpun Bloomberg menunjukkan, median atau nilai tengah pertumbuhan PDB kuartal II/2025 adalah adalah 4,8% (YoY). Estimasi tertinggi yakni pertumbuhan hingga 5% sedangkan terendah 4,6%.
Proyeksi pertumbuhan tertinggi yakni 5% diramalkan oleh Gareth Leather dari Capital Economics, Ltd. dan Enrico Tanuwidjaja dari PT Bank UOB Indonesia, sedangkan terendah oleh Moody's Analytics Singapore, Jeemin Bang sebesar 4,6%.
Angka ini menjadi sinyal peringatan, mengingat dalam empat tahun terakhir pertumbuhan PDB pada kuartal kedua selalu bertahan di atas 5%. Jika prediksi ini benar, maka kuartal II/2025 menjadi titik pertumbuhan terendah sejak kuartal II/2021, saat Indonesia masih dibayangi efek low base dari pandemi Covid-19.
Konsumsi Melemah, Daya Beli Tertekan
Sektor konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi tulang punggung PDB nasional mengalami perlambatan signifikan. Pertumbuhannya diperkirakan hanya mencapai 4,77% hingga 4,93% YoY, lebih rendah dibandingkan kuartal sebelumnya yang berada di atas 4,9%.
Baca Juga
Chief of Economist Bank Mandiri, Andry Asmoro memperkirakan pertumbuhan ekonomi kuartal II/2025 sebesar 4,79% YoY atau sedikit lebih rendah dari kuartal I/2025 yaitu 4,87% YoY.
Andry menyebut pertumbuhan yang lebih rendah secara tahunan pada kuartal II/2025 dipicu oleh di antaranya konsumsi rumah tangga karena faktor musiman dan perilaku belanja yang selektif. Kendati demikian, bantuan sosial (bansos) pemerintah yang ditingkatkan bisa membantu perlambatan konsumsi masyarakat.
Sementara itu, aktivitas investasi atau PMTB diperkirakan tumbuh sederhana. Itu terlihat dari penjualan semen dan turunnya penyaluran dana pinjaman yang produktif.
"Hal ini menunjukkan laju pembentukan modal yang lebih terukur karena pendekatan wait and see dari sektor usaha," ungkap Andry melalui keterangan tertulis, Senin (4/8/2025).
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, mengungkapkan bahwa konsumsi masyarakat kini dibayangi oleh meningkatnya kehati-hatian dalam membelanjakan uang.
Meski Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) masih berada di zona optimis pada level 117,8, ekspektasi penghasilan mengalami penurunan dari 135,4 menjadi 133,2. Hal ini mencerminkan kekhawatiran rumah tangga terhadap pendapatan masa depan.
Bahkan, rasio konsumsi terhadap pendapatan meningkat dari 74,3% menjadi 75,1%, menandakan bahwa alokasi untuk tabungan semakin ditekan.
Selain itu, tekanan terhadap daya beli juga diperparah oleh efisiensi belanja pemerintah. Menurut Josua, langkah efisiensi yang menyasar pos-pos seperti bantuan sosial, subsidi energi, dan insentif lainnya justru dapat mengurangi stimulus terhadap ekonomi domestik.
"Ketika pemerintah mengurangi belanja, khususnya di sektor-sektor yang langsung berhubungan dengan konsumsi masyarakat, seperti bantuan sosial, subsidi energi, atau insentif lainnya, maka daya beli masyarakat berpotensi terdampak secara negatif," terangnya.
Tren Perlambatan
Perlambatan ekonomi pada kuartal II/2025 dan realisasi kuartal I/2021 yang juga belum sesuai ekspektasi itu menjadi peringatan dini bagi pemerintah terkait dengan kinerja perekonomian Indonesia sampai akhir tahun mendatang.
Dalam catatan Bisnis, sejak kuartal II/2021 – kuartal II/2024, ekonomi Indonesia selalu berada di atas 5%. Meski di atas 5%, ekonomi Indonesia terus mengalami penyusutan selama 4 tahun terakhir.
Pada tahun 2021, misalnya, realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal mencapai 7,07%. Pertumbuhan tinggi pada kuartal 2021/2021 itu terjadi karena baseline tahun sebelumnya yang sangat rendah akibat pandemi Covid-19.
Namun demikian, sejak tahun 2022, realisasi pertumbuhan ekonomi pada kuartal II berangsur menciut. Pada waktu itu, ekonomi hanya tumbuh di angka 5,44%. Angka itu terus menurun pada kuartal II/2023 menjadi 5,17%. Puncaknya, pada kuartal II/2024 pertumbuhan ekonomi tersisa di angka 5,02%.
Tren perlambatan ekonomi kuartal II selama 4 tahun terakhir itu dipicu oleh sejumlah faktor. Kalau menilik data BPS, stagnasi kinerja manufaktur menjadi salah satu pemicu. Sebagai contoh pada kuartal II/2024, misalnya, kontribusi manufaktur ke PDB masih di bawah angka 20%. Angkanya sebesar 18,52%. Selain itu penurunan harga komoditas juga memicu penurunan kontribusi sektor pertambangan dari angka 10,49% pada kuartal II/2023 menjadi 8,78%.
Selain kontribusi manufaktur, dari sisi pengeluaran, pada waktu itu ada penurunan kontribusi investasi yang direpresentasikan dari pembentukan modal tetap bruto yang tercatat dari 27,92% menjadi 27,89%. Belanja pemerintah juga demikian dari 7,43% menjadi 7,31%. Semua data itu terjadi pada kuartal II/2023 dan kuartal II/2024.