Bisnis.com, JAKARTA — Pelaku usaha tambang nikel mengeluhkan pelaksanaan surveyor terkait dengan kegiatan verifikasi kualitas dan kuantitas bijih nikel dalam transaksi jual beli nikel di dalam negeri.
Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey, banyak pemasok atau penambang yang mengeluhkan perbedaan hasil analisis antara pelabuhan muat dan pelabuhan bongkar (smelter) yang terlalu berbeda jauh. Hal ini mengakibatkan penambang mengalami kerugian.
"Ketentuan penunjukan pihak ketiga sebagai wasit atau surveyor umpire yang tertuang dalam Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2020 belum digunakan pada saat terjadi dispute perbedaan kadar. Saksi dari pihak supplier atau penambang tidak dilibatkan dalam proses pengambilan sampel," ujarnya dalam sebuah webinar, Rabu (16/12/2020).
Selain itu, penambang juga mengeluhkan lamanya kinerja waktu pengujian dan hasil pengujian dari surveyor yang bisa memakan waktu 1 bulan—2 bulan lebih.
Meidy menuturkan bahwa sejak Oktober 2020 perusahaan smelter telah menunjuk PT Anindya Wiraputra Konsult sebagai surveyor.
Dia menyebut bahwa kapasitas surveyor perusahaan tersebut belum memenuhi atau mencukupi kebutuhan pengujian analisis yang ada.
Baca Juga
"Belum memenuhi atau mencukupi kebutuhan pengujian analisis yang ada karena seluruh penambang mau enggak mau ke satu pintu, yaitu Anindya karena Anindya inilah yang dipakai oleh pihak smelter," katanya.
Dengan adanya persoalan ini, beberapa penambang sedang melakukan gugatan hukum ke pihak surveyor Anindya.
Sebelumnya, Ketua Pelaksana Tim Kerja Pengawasan Pelaksanaan HPM Nikel Septian Hario Seto mengatakan bahwa Tim Satgas HPM Nikel telah menerima banyak laporan komplain terkait dengan kegiatan transaksi dan verifikasi mineral logam, khususnya nikel.
Dia pun menyebut akan mengundang seluruh surveyor untuk meminta penjelasan dan menegaskan kembali aturan yang ada di Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2020.