Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Sri Mulyani Akui Aturan Teknis PPN 12% Tak Ideal, tapi Sesuai UU

Sri Mulyani mengakui bahwa aturan teknis PPN 12% tidak ideal, tetapi pemerintah menerbitkannya agar tidak melanggar aturan perundang-undangan, seperti UU HPP.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan paparan saat konferensi APBN KiTa di Jakarta, Senin (6/1/2024). / Bisnis-Fanny Kusumawardhani
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan paparan saat konferensi APBN KiTa di Jakarta, Senin (6/1/2024). / Bisnis-Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui PMK Nomor 131/2024 yang mengatur teknis perhitungan tarif PPN 12% untuk barang mewah dan non-mewah kurang ideal. Hanya saja, dia menekankan pemerintah harus tetap mematuhi amanat undang-undang.

Sebagai informasi, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 131/2024 mengatur bahwa tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12% tetap berlaku untuk semua barang/jasa. Hanya saja, dasar pengenaan pajak (DPP) dibedakan menjadi dua yaitu untuk barang mewah dan non-mewah.

Pertama, pengenaan PPN untuk barang mewah dihitung dengan cara mengalikan tarif 12% dengan DPP berupa harga jual/nilai impor sebesar 12/12. Kedua, pengenaan PPN untuk barang/jasa lain atau yang bukan tergolong mewah dihitung dengan cara mengalikan tarif 12% dengan DPP berupa nilai lain (harga jual/nilai impor/nilai pengganti) sebesar 11/12.

Sri Mulyani tidak menampik aturan tersebut mendapat kritik dari sejumlah pihak karena dinilai membingungkan dan menambahkan beban administrasi. Kendati demikian, dia menyatakan aturan tersebut diambil agar tidak ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang dilanggar.

"Kita mencoba mengoptimalkan ruangan yang ada dengan tetap menjaga aturan hukumnya itu sendiri meskipun mungkin tidak ideal," jelas Sri Mulyani dalam konferensi pers di Kantor Kemenkeu, Jakarta Pusat, Senin (6/1/2025).

Bendahara negara itu menjelaskan dalam setiap kebijakan pihaknya selalu mempertimbangkan faktor politik, hukum, hingga konsekuensi sekaligus mitigasi dampaknya. Jika kebijakan tersebut diperkirakan bisa menambah beban masyarakat maka pemerintah harus siap menerima kritik hingga reaksi negatif.

Menurutnya, reaksi negatif tersebut kerap terjadi hanya karena ada sesuatu yang baru. Oleh sebab itu, sambungnya, pemerintah perlu melakukan sosialisasi agar tujuan kebijakan baru tersebut bisa dipahami masyarakat.

"Ini yang kami terus mengkomunikasikan dan menyampaikan agar masyarakat paham. Saya tahu bahwa tidak selalu beritanya itu menyenangkan tapi pada akhirnya seluruh Indonesia, seluruh lapisan, seluruh ekonomi, harus dikelola bersama," tutup Sri Mulyani.

Sebelumnya, Ketua Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Prianto Budi Saptono meyakini Kementerian Keuangan membedakan DPP untuk barang mewah dan non-mewah agar tarif PPN di Indonesia tetap tunggal yaitu 12% sesuai amanat Undang-Undang Nomor 42/2009 (UU PPN).

Memang dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (3) UU PPN, disebutkan pemerintah mempunyai wewenang mengubah tarif PPN tetapi dengan tetap memakai prinsip tarif tunggal.

Hanya saja, sesuai PMK No. 131/2024, dalam praktiknya kini ada pembedaan untuk barang mewah dan non-mewah (multitarif) seperti arahan Presiden Prabowo Subianto.

"UU PPN tetap menggunakan skema tarif tunggal, bukan multitarif. Akan tetapi, DPP-nya dibedakan menjadi dua," jelas Prianto kepada Bisnis, Rabu (1/1/2025).

Tuai Kritik

Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun merasa pembedaan dua DPP dalam PMK No. 131/2024 itu sangat membingungkan dan menimbulkan kerancuan dalam penerapannya.

Padahal, menurutnya, Prabowo sudah memberikan arahan yang jelas bahwa kenaikan tarif PPN menjadi 12% hanya untuk barang mewah yang selama ini menjadi objek pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). Sementara itu, barang/jasa lainnya tetap dikenai PPN 11%.

Dengan kata lain, Misbhakun menekankan seharus PPN diterapkan multitarif—bukan malah dipersulit dengan perhitungan dua DPP.

"PMK 131 membuat dasar perhitungan yang membingungkan dunia usaha dalam penerapan tarif PPN 11% yang tidak naik dengan menggunakan istilah dasar pengenaan lain," ujar Misbakhun dalam keterangannya, Jumat (3/1/2025).

Apalagi, sambungnya, persiapan dan pembuatan keputusan sangat mepet dengan pelaksanaan perubahan tarif PPN. PMK 131/2024 diundangkan pada 31 Desember 2024, sedangkan kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% berlaku pada 1 Januari 2025.

Oleh sebab itu, politisi Partai Golkar itu menilai seharusnya Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu membuat peraturan dengan bahasa yang lebih sederhana, tidak menimbulkan multitafsir, dan tetap menggunakan mekanisme penyusunan peraturan yang seharusnya.

Misbakhun pun menekankan tidak seharusnya Direktorat Jenderal Pajak membuat penafsiran ataupun membuat ketentuan yang berbeda dengan perintah Prabowo sehingga bisa berakibat timbulnya ketidakpercayaan masyarakat. Bahkan, dia mendorong Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Suryo Utomo mengundurkan diri.

"Karena apa yang dibuat soal aturan pelaksanaan teknis ini sudah tidak seirama dengan kemauan dan kehendak Bapak Presiden Prabowo karena punya tafsir subyektif soal pasal UU HPP yang sudah jelas," katanya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper